Kembali kita ngopi dan berbagi ilmu pengetahuan terkait apa yang sedang terjadi di Negeri ini, banyak nada dari mulai nada yang pas sampai nada yang sumbang yang tengah terjadi, terkhusus setelah peristiwa 17 April 2019 tiada lain yaitu “Pemilu”. Dalam peristiwa tersebut penduduk negeri ini berlomba-lomba dalam menentukan pilihannya, berlomba-lomba menentukan siapa yang akan memegang palu kebijakan dinegeri ini, serta harapan yang besar dari penduduk negeri ini palu tersebut bisa dipukulkan kepada sasaran yang tepat.
Tetapi setelah beberapa bulan berlalu peristiwa tersebut masih berujung, masih menyisakan obrolan-obrolan yang mengalir dari warung-warung kopi yang tak pernah berujung. Malahan yang menjadi muara sasarannya itu tidak terlepas dari penyelenggara pemilu itu sendiri, yang lebih ironisnya ketika permasalah tersebut di bawa kemeja persidangan masih banyak orang yang meragukan mahkota pengadilan di negeri ini.
Saya rasa tak perlu akli dinegeri ini karena hamper semua warga Indonesia sudah menjadi ahli dalam menyampaikan informasi atau mencoba memprovokasi orang-orang sekitarnya, baik dengan kekeuatan secara rekan, teman bahkan secara kekeluargaan isu yang tengah panas itu dicoba untuk digelindingkan dengan harapan isu-isu tersebut menjadi lebih besar. Memang tidak bisa kita nafikan lagi ketika suatu Negeri menentukan bandul siapa yang akan menduduki kursi kebijakan pasti warga atau penduduk yang ada di Negeri tersebut ikut memikirkannya karena semuanya juga paham dan mengerti akan arti demokrasi yang sedang berlangsung. Tetapi dengan adanya suatu penafsiran atau paradigm yang berkembang mengenai demokrasi, meskipun mereka sudah tahu demokrasi itu seburuk-buruknya sitem dalam bernegara, yang lebih pahit dan mengerikan lagi disisi lain demokrasi itu sistem yang paling buruk, diperkeruhlagi dengan keburukan paraparadigmadigma para ahli yang seolah-olah sengaja mencampurinya dengan kebohongan, dengan agama, dengan hal
lainnya yang dirasa itu bisa mempengaruhi.
Dikatakan heran memang sangat heran, kenapa beranggapan heran, idealnya ketika menentukan pemimpin dalam suatu Negara kita semua mempunyai keyakinan ketika ada pergantian pemimpin pasti semuanya berharap pemimpin tersebut bisa satulangkah lebih depan dari yang sebelumnya dalam memimpin suatu Negara. Harapnya bagus, cita-citanya bagustetapi kenapa dengan cara yang tidak layak, dengan cara-cara keji memperjuangkan cita-cita yang mulia itu, apakah ini yang dinamakan “politik”. Hamper semua sadar ini politik, hamper semua melek ini namanya politik, tetapi kenapa dampak dari semua itu berdampak sampai kepada orang-orang yang terdekat karena beda pandangan, beda pemikiran hubungan mesra kita itu menjadi retak karena dampak politik, padalah menurut keyakinan masih ada kasta yang lebih tinggi selain politik.
Semua lapisan masayrakat membuka mulut dalam menanggapi politik itu, dari kalangan atas sampai kalangan-kalangan yang paling rendah sekalipun mulutnya ikut berbuih dalam menegakan dan megabadikan permusuhan satu sama lainnya. Padahal harpanya dengan adanya momentum politik ini semuanya bisa saling belajar, semuanya bisa saling mengerti serta bisa saling mencoba untuk memberikan pendidikan politik yang baik, politik yang ramah lingkungan bukan sebaliknya momentum politik ini dijadikan saling membenci satu sama lain, saling menghujat seolah aku paling benar, saling berontak seolah aku paling berani, saling menerka seolah aku paling bisa, saling menjatuhkan seolah aku paling tinggi, saling berjanji seolah-olah aku tidak akan bertemu dengan kematian.
Mana politik yang santun, mana yang dinamakan demokrasi yang saling menghargai itu, mana demokrasi yang pernah kita dengar bahwa demokrasi itu bisa baik, apakah hanya suara sumbang atau nada yang kurang jelas saja yang kita dengar terkait politik.
Perhelatan yang sangat besar tersebut ternyata hanya mempertontonkan kekeliruan saja kepada dunia ini, hanya menghabiskan anggaran saja, hanya menghabiskan tenaga saja, hanya bisa berteriak dihadapan orang-orang yang daun telinganya tebal saja.
Perlu kita pertanyakan hal itu semua karena kalau memang memegang sisi demokrasi berteriakpun masih merupakan bagian dari demokrasi, jangan pernah surut untuk berteriak jangan pernah lemah untuk berdiri kita semua penduduk yang masih dalam pertanggungjawaban para pemegang bandul kebijakan.
Semoga semuanya masih bisa ngopi bareng dan masih bisa menjungjung tinggi nilai-nila persatuan dan kesatuan, semoga retak-retak khidupan berbangsa dan bernegara kita itu masih bisa di indahkan dengan semburan perdamaian.
---{EMONZ}---
Gubuk perjuangan
23:47 WIB
06-07-2019
Komentar
Posting Komentar