ANALISIS HUKUM DARURAT SIPIL



Ditengah maraknya pandemik covid-19 yang terjadi hampir dibeberapa Negara mengakibatkan seluruh kepala Negara melakukan antisipasi terhadap penyebaran covid-19  tersebut termasuk di Negara Indonesia. Ada beberapa wacana yang akan diterapkan oleh pemerintah Indonesia demi tercapainya pencegahan covid-19 dari mulai Lock Down, karantina wilayah, PSBB serta wacana akan diterapkannya darurat sipil, hal tersebut dalam rangka atau upaya pemerintah demi tercegahnya penyebaran covid-19 tersebut. 

Disini saya akan menganalisis dasar hukum dari beberapa wacana sampai kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, melainkan analisis dasar hukum yang akan saya coba bahas yaitu lebih kepada wacana akan dikeluarkannya darurat sipil. Beberapa waktu kebelakang wacana kebijakan darurat sipil tengah menghembus dikalangan masyarakat, hal tersebut tidak terlepas dari kritik yang dikeluarkan oleh sebagaian masyrakat, maka dari itu saya akan mencoba menganalisis dari sisi dasar hukumnya, dan kenapa pemerintah tidak jadi mengeluarkan kebijakan darurat sipil, malah darurat sipil tersebut hanya dijadikan opsi belaka.

Berbicara darurat sipil secara dasar aturan termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu terdapat dari dalam pasal 12 tentang keadaan bahaya dan pasal 22 ayat (1) tentang berhaknya presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang mana dikatakan bahwa “Dalam hal Ikhwal kegentingan yang memaksa presiden berhak menetapkan Perpu”. Namun dalam hal ini saya tidak akan terlalu menyoroti pasal 22 ayat (1) tersebut, tetapi saya akan lebih mendalami pasal 12 tentang keadaan bahaya.

Berbicara masalah keadaan bahaya dulu pernah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 1946, kemudian di cabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 yang diubah menjadi Perpu Nomor 23 tahun 1959. Berkaitan dengan Perpu nomor 23 tahun 1959 ini sempat direncanakan menjadi salah satu dasar dikeluarkannya kebijakan darurat sipil, yang mana dalam pasal 1 ayat (1) perpu tersebut ada tiga poin yang menyatakan bahwa : "Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan perang menyatakan seluruh atau sebagaian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang apabila : a. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; b. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; c. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara”.  

Dalam Perpu nomor 23 tahun 1959 tersebut memang tidak hanya berbicara masalah keamanan saja meskipun yang paling kuat adalah berbicara masalah keamanan tetapi terdapat sisi kesehatan yaitu terkait “bencana alam”. Apabila darurat sipil dikaitkan dengan situasi saat ini yaitu terkait pencegahan terhadap pandemik covid-19 tersebut, dirasa masih kurang tepat karena apabila dilihat dan dikaitkan dengan kata “bencana alam”, perlu kita menengok terlebih dahulu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 yaitu tentang penanggulangan bencana alam.

Dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tersebut berbicara masalah bencana itu diklasifikasikan menjadi tiga point penting yaitu bencana yang diakibatkan oleh faktor alam, nonalam dan bencana sosial atau bencana yang diakibatkan oleh faktor manusia. Sedangkan dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tersebut yang termasuk dan ada kaitannya dengan kesehatan yaitu bencana nonalam, yang mana dikatakan bahwa “Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemiK dan wabah penyakit”. Dalam ketentuan tersebut yang dibahas hanya sebatas kata “epidemik” dan kata “wabah penyakit” saja, sedangkan apabila dikaitkan dengan covid-19 yang beberapa waktu ini adalah “pandemik” dan hal tersebut tidak ada bahasan terkait kata “pandemik” yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tersebut, mungkin ini bahasa-bahasa dibidang kesehatan yang memang ahli untuk menerjemaahkannya, melainkan hal tersebut ada perbedaannya, disini saya akan mencoba membedakan dari sisi skalanya saja, “epidemi” yaitu skalanya luar biasa, “wabah” skalanya luar biasa tapi sederhana sedangkan kalau “Pandemik” skalanya sangat meluas yang mana seperti hari ini kenapa disebut Pandemik Covid-19 karena memang skalanya penyebarannya meluas hampir seluruh Negara yang ada di dunia melakuan antisipasi untuk pencegahan penyebaran covid-19 tersebut.

Ada lagi Undang-Undang yang sempat dihembuskan dan menjadi tranding topik beberapa waktu ini untuk dijadikan dasar kebijakan Darurat Sipil yang sempat ramai di dunia pemberitaan yang oleh masyarakat dapat diakses yaitu adanya Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tersebut berbicara soal penanggulangan, mencegah atau menangkal kelua masuknya penyakit, apabila dianalisis ketika yang menjadi dasar Darurat sipil tersebut adalah Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, disinilah saya mulai merasa kebingungan. Karena Darurat Sipil tidak ada relasiya dengan Udang-Undang yang lain, memang ada relasi dengan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, melainkan bencana tersebut adalah bencana alam bukan bencana non alam, sedangkan epidemik dan wabah itu masuknya bencana non alam seperti apa yang sudah dijelaskan tadi di atas.

Kemudian pada tanggal 31 matret 2020 presideng mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar dalam rangka percepatan penanganan covid-19 . yang mana meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP tersebut, tetap darurat sipil masih menjadi opsi dengan alasan darurat sipil akan dijadikan opsi ketika terjadi situasi abnormal. Apabila daurat sipil masih dikeluarkan  hal tersebut akan terjadi dua konsep yang tidak nyambung, karena secara dasar darurat sipil tersebut mau pakai dasar yang mana.

Dengan lahirnya atau dikeluarkannya PP nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB tersebut yang terdiri dari 7 pasal, saya rasa masih kurang spesifik. Kenapa belum spesifik misalnya dalam pasal 4 dari PP tersebut mengatakan bahwa “Pembatasan Sosial Bersekala Besar paling sedikit meliputi : a. peliburan sekolah dan tempat kerja”. Hal tesebut itu akan menimbulkan multi tafsir karena yang namanya “peliburan” tidak sama dengan Work Form Home (WFH), apakah libur tersebut apakah benar-benar berhenti atau masih belajar dirumah, meskipun di ayat berikiutnya ada penegasan, namun menurut saya masih kurang detail. Seharusnya yang namanya peraturan pemerintah itu mampu menjelaskan semua kegelisahan dan keresahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dalam situasi saat ini. 

Jadi pada kesimpulannya hasil analisis dasar hukum terkait Darurat Sipil apabila didasarkan pada Perpu nomor 23 tahun 1959 tentang Penetapan Keadan Bahaya, Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam dan Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan masih dirasa belum tepat serta masih perlu banyak pertimbangan yang begitu rumit, adapun misalnya kalau mau dikaitkan dengan Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehtan itu saya lebih sepakat diberlakukannya darurat kesehatan masyrakat, karena dalam undang-undang tersebut itu dibahas bagaimana darurat kesehatan masyarkat dilaksanakan. 

Semoga sahabat-sahabat selalu ada dalam lindungan yang Maha Kuasa ditengah-tengas situasi seperti ini...
Semoga bermanfaat….!!!!!!!!!!


Rongga KBB, 04 April 2020

---{A.Emonz}---



Komentar

Posting Komentar