Menurut pendapat Mikhail Bakhtin dalam buku The Dialogical Principle, “hidup itu bersifat dialogis, menjalani hidup berarti terlibat di dalam dialog, bertanya, mendengar, menjawab, menyetujui..”
Mengingat arti dari perkataan Mikhail Bakhtin di atas, bahwa dalam realita hari ini sesungguhnya telah hilang budaya-budaya atau kebiasaan dialogis tadi, dengan banyaknya berbagai arus teknologi yang semakin hari semakin menggila, semua orang disuguhkan dengan dunianya masing-masing tanpa mempertimbangkan orang lain. Dengan adanya kebiasaan-kebiasaan modernitas tadi, sisi-sisi dialogis kian terkikis.
Dewasa ini manusia menyelesaikan masalahnya seolah-olah mempuinyai gaya masing-masing yang bercorak individualis, atau paling umum dalam menyelesaikan masalahnya langsung dengan cara digiring ke ranah hukum, tanpa mempertimbangkan sisi-sisi dialogis.
Apa yang sesungguhnya hilang, di dalam wacana komunikasi adalah sisi-sisi dialogis. Mikhail Bakhtin di dalam buku Dialogical Imagination, mengatakan bahwa dalam upaya pemahaman terhadap masyarakat dan kebudayaan (termasuk Komunikasi antar budaya), yang paling penting adalah bagaimana memahami manusia itu sebagai subjek dengan segala perasaannya, bukan menganggap sebagai objek yang tidak bernyawa.
Karena dialog akan berlangsung bila relasi subjek dengan subjek, bukan relasi subjek dengan objek (seperti relasi di dalam masyarakat patriarki yang memandang kaum hawa sebagai objek dari hegemoni kaum adam selaku subjek). Oleh karena itu perlakuan terhadap seseorang atau manusia nyatanya tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap benda mati atau objek.
Ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang dianggap sebagai objek, kita selaku subjek akan memperoleh pengetahuan tentang objek tersebut, tentunya berdasarkan objektivitas pengetahuan. Sebaliknya ketika kita berhadapan dengan manusia sebagai subjek, tidak hanya mendapatkan pengetahuan melainkan lebih dalam lagi, kita akan mendapatkan pemahaman dan saling memahami (Mutual Understanding) secara timbal balik tentang subjek itu, sebagai manusia yang memiliki perasaan, keinginan, harapan, hasrat dan lain-lain, tentunya manusia juga tidak hanya bisa dilihat dari sisi statistik, sebagai angka-angka, sebagai komoditi, yang tidak dipertimbangkan perasaannya.
Dengan demikian menurut Yasraf Piliang dalam bukunya yang berjudul Transpolitika Dinamikka Politik Dalam Era Virtualitas mengatakan, mempertimbangkan perasaan orang lain dengan cara memahami perasaannya tersebut dalam komunikasi antar budaya, merupakan hakikat dari sebuah dialog.
Dikaitkan dengan relaita kehidupan yang nyata hari ini khususnya dalam media sosial, banyak problematika permasalahan yang terjadi yang dipertontonkan hanyalah saling memojokan satu sama lain, baik antar kelompok, suku, agama, budaya atau golongan. Apabila dikaitkan dengan harus adanya saling memahami antar perasaan satu sama lainya, masihlah jauh untuk berlangsungnya dialog yang seharunya bisa dilaksanakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Karena yang kita alami hari ini, manusia-manusia hari ini cendrung menganggap kepada manusia yang lainnya hanyalah mengangga selaku objek belaka, sama halnya menganggap orang lain itu seolah-olah disamakan dengan benda mati.
Disebabkan tidak intensifnya dialog antar budaya, suku, golongan atau agama, maka yang cendrung berkembang dan muncul didalam sistem komunikasi hari ini adalah sikap-sikap ketidakpedulian terhadap orang lain, sikap mendahulukan kepentingan diri sendiri, Will Of Power yang tidak terbendung, sikap tidak mau menerima kesalahan, sikap intoleran terhadap kelompok lain. Semuanya cendrung mengembangkan sikap melihat kedalam diri sendiri yang narsistik denga merayakan diri sendiri dan tidak mengembangkan sikap melihat kepada luar dari diri sendiri, cndrung hanya melihat orang lain sebagai musuh atau ancaman, semua orang dibuat hanyut oleh dirinya sendiri (The Politic Of Monologism).
Tulisan ini kita kita akhiri saja, meskipun sedikit diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap sisi-sisi kebersamaan kita yang dilahirkan dari sebuah dialog, negera ini terbentuk juga berawal dari sisi-sisi diskusi dan dialog kecil-kecilan, maka dari itu saya akan mencoba menyimpulkan Jika kita tidak bisa memulai dalam melihat dan menyelesaikan sesuatu problematika dalam kehidupan kita dengan cara-cara dialogis, maka cobalah dari yang terkecil yaitu mempertimbangkan perasaan orang lain, karena mempertimbangkan perasaan orang lain juga itu merupakan hakikat dari adanya sebuah dialog.
Dan hargailah orang lain, jangan pernah menganggap orang lain seperti objek, karena semua manusia yang bernyawa tetap mereka adalah subjek yang akan menambah pengetahuan terhadap kita selaku sesamanya, serta ingatlah manusia juga tidak hanya bisa dilihat dari sisi statistik, sebagai angka-angka, sebagai komoditi, yang tidak dipertimbangkan perasaannya.
Jangan lupa tersenyum dan berproses tentunya
Bandung Barat, 03//06/2021
---{A Emonz}---
Komentar
Posting Komentar