KISAH BANDUNG UNTUK JOGJAKARTA


Sebenarnya ketika mendengar kata “Jogjakarta” sudah tidak asing lagi dibenak, karena sudah beberapa kali menyambanginya, tetapi entah bagaimana malam ini serasa syahdu dirasakan dengan ditemani kopi dan rokok serta lembaran halaman dari sebuah buku karya Dr. Fahrudin Faiz dengan judul “Terjemah Rasa Tentang Aku, Hamba dan Cinta”. Tapi tidak menjadi persoalan bahkan perdebatan pada intinya malam ini aku harus menyampaikan kisah tentang rasa yang ada bahkan rasa yang terbawa dari Bandung untuk Jogjakarta.
Seperti apa yang dikatakan diatas, bukan hanya sekarang saja aku menginjakan kaki di kota pelajar ini, melainkan sudah beberapa kali kalau dihitung jari aku sudah menginjak Jogjakarta itu sebanyak 4 (empat) kali, Cuma tadi mendengar dari salah satu tokoh daerah D.I Jogjakarta ( M Najib /Ketua Bawaslu D.I Yogyakarta) mengatakan “Jogjakarta itu merupakan daerah yang mana kalau orang datang ke Jogja itu selalu rindu untuk kembali, dia juga mengatakan Bagi yang pertama kali ke Jogjakarta silahkan membuat kenangan, bagi yang pernah mendatangi Jogjakarta silahkan mengingat kenangan dan bagi yang sudah beberapakali mendatangi jogjakarta silahkan menyempurnakan kenangan”. Nah, apakah diri ini termasuk yang membuat, mengingat atau menyempurnakan, tapi bukan hal tersebut yang menjadi point penting untuk dikisahkan melainkan ada sesuatu hal yang harus tersampaikan ke Kota ini, yaitu tentang semua rasa yang terbawa bahkan sengaja dibawa dari Bandung untuk Jogja.

Tapi sebelum kita membahas rasa yang terbawa atau sengaja dibawa dari Bandung saya juga merasa takjub ternyata bukan hanya tempat yang indah untuk kita kunjungi serta bukan hanya angkringan yang akan menjadi kenangan dalam benak kita, ternyata Jogjakarta itu pernah juga dijadikan kota untuk Ibukota Republik Indonesia, yaitu pada tahun 1946-1949, luarbiasa kan kota ini, selain tempatnya menarik untuk kita kunjungi kota ini terkenal juga dengan kota Pelajar.

Nah, malam ini aku akan menyempurnakan kenangan lewat barisan kata yang tidak tersusun dengan rapi, berbeda seperti bangunan candi yang tertata dengan indah, aku akan menyampaikan kisah ini tidak lembut, berbeda dengan lembutnya desiran angin yang menyapa ketinggian Gunung Kidul, aku akan mencoba menyampaikan kisah ini dengan agak lirih, berbeda dengan derunya ombak yang menghantam karang pantai Parang Tritis, aku akan mencoba menyampaikan kisah ini dengan kesunyian, berbeda halnya dengan riuhnya Marioboro, aku akan mencoba menceritakan kisah ini dengan bahasa jalanan, berbeda dengan bahasa pendidikan seperti sebutan nama kota ini, tetapi ada kesamaan yaitu aku akan menyemapaikan kisah ini begitu merambak sama halnya dengan merambaknya angkringan yang ada di kota ini.

Dari dulu sejak kecil hal yang terlintas dalam benakku tentang “Jogjakarta” yaitu kota pelajar, bahkan termasuk salah satu cita-citaku dari dulu untuk menimba ilmu dikota Pelajar ini, tapi takdir berkata lain dari mulai S1 dan S2 akhirnya aku menimba ilmu di Bandung, tapi hal itu tidak membuat aku harus melawannya, sampai pada saat ini masih terlintas untuk menimba ilmu di Kota ini, sampai tadi sore disela-sela waktu senggang aku berjalan menyambangi beberapa penerbit buku serta berkeliling mengitari gedung yang sudah banyak melahirkan ilmuan yang luar biasa dan hebat yaitu kampus besar Universitas Gajah Mada (UGM).  Rasaku riuh, dalam pikiranku bergejolak terjadi dialektis antara kepala dan hati serta dibarengi dengan logika yang selalu meronta-ronta tentang apa yang sudah terjadi sampai yang belum terjadi, tapi semua rasa itu seketika hilang terabaikan dengan pesona Jogjakarta yang begitu indah serta disuguhkan dengan keindahan bangunan-bangunan yang mempunyai tradisi yang sampai saat ini masih terjaga keharmonisannya.

Bicara masalah rasa yang terbawa bahkan sengaja dibawa dari Bandung ini bukan hanya satu rasa saja melainkan aku sebagai manusia sama seperti manusia yang lainnya memiliki rasa yang begitu banyak, dari mulai rasa sayang, benci, gundah, resah, marah, gelisah, berantakan bahkan rasa kasihsayangpun ikut menyertai. Hal tersebut bukan berarti ingin membebani keindahan Kota Jogjakarta, melainkan rasa yang harus aku kisahkan melaui tulisan yang tidak mempunyai rima sedikitpun, inilah gambaran bahwa diri ini sedang mengarungi gejolak pertempuran rasa yang begitu luarbiasa, dengan harapan Jogjakarta mampu memahami serta mengerti tentang kisah rasa yang sedang aku alami. 

Jogjakarta, jika boleh aku bicara tentang kisah rasa yang terjadi saat ini, aku selalu merasa sepi ditengah keramaian Bandung, aku selalu merasa sunyi ditengah kemeriahan Bandung, aku merasa gelap dibawah langit Bandung, waktu demi waktu sekarang-sekarang ini aku selalu merasa sepi ditengah hingar bingar kebisingan Bandung, mudah-mudahan langit Jogjakarta tidak sama dengan langitnya Bandung, serta semoga keindahan Jogjakarta bisa menambah keindahan Kota Kembang yang beberapa waktu kebelakang bagi rasa ini Bandung tidak tercium harum kembangnya lagi, yang ada hanya tercium bau kelayuan kembang yang selalu terngiang dalam benaku, sampai dimana aku merasa trauma.

Maaf bukan berarti menyalahkan keindahan yang ada, kareana sampai saat ini aku masih meyakini keindahan Bandung, bisa dikatakan ketika Tuhan menciptakan Bandung Tuhan itu sedang tersenyum sehingga banyak sekali hal yang harus aku syukuri tentang makna sebuah keindahan, tapi saat-saat ini bukan Bandung nya yang salah, bukan Bandung nya yang tidak indah, melainkan mental serta perasaan aku saja yang tidak baik-baik saja. Semoga setelah saya bertolak untuk balik Bandung rasa ini kembali pulih, kembali sehat seperti sediakala.

Sekali lagi maafkan aku Jogjakarta, aku tidak bisa membawa buah tangan seperti makanan khas Bandung, melainkan hanya membawa perasaan khas Bandung yang begitu syahdu, serta ucapan terimkasih karena Jogjakarta mampu menampung semua kisah rasa yang ada tanpa sedikitpun merasa terbebani dengan kisah rasa tersebut. Perlu diketahui juga selama ini aku seorang lelaki yang mempunyai perempuan yang bisa dan mampu menemaniku untuk melawan arus kemelutan di Bandung, mudah-mudahan perempuan itu bisa aku bawa untuk menghadap serta menikmati keindahanmu Jogjakarta, serta mampu membuat, mengingat serta menyempurnakan kenangan yang pernah dibuat, serta menyempurnakannya lagi secara bersama. 

Sayahdunya malammu tidak jauh beda dengan syahdunya malam di Bandung, indahnya tempatmu tidak jauh beda dengan tempat-tempat di Bandung, Cuma satu yang dapat membedakannya yaitu tentanag rasa yang hari ini aku rasakan, apabila merasa Jogjakarta berantakan, merasa Bandung tidak baik-baik saja, semua itu sudah bisa dipastikan bukan jogjakarta dan bandungnya yang salah melainkan rasa ini lah yang sedang tidak baik-baik saja, aku merasa bangga telah bisa bermalam disini, dimana tempat ini mampu memahami serta mengerti terhadap kisah rasa yang sedang terjadi, bagiku Jogjakarta tetap menjadi kota pelajar yang banyak melahirkan beberapa ilmuan yang hebat dan cermat, serta Bandung tetap kota kembang yang mampu menciptakan musim semi dengan beragam aneka harum dari bunga yang sedang mekar.  


Jogjakarta, 09 Juli 2024

----<MONZ>----


Komentar